Friday, October 2, 2009

MIPA, Jurusan yang Merancang Ilmuwan

Suatu ketika terjadilah percakapan antara orang tua dan anaknya.

Orangtua: “Arya, kamu nanti kuliah masuk di jurusan hukum ya?”

Anak: “Tapi, Arya kan mau jadi peneliti. Ya Arya harus ngambil jurusan fisika donk ma…”

Orangtua: “Aduuuuh… Ngapain kamu ngambil jurusan fisika? Mau jadi apa kamu? Jadi guru? Mau makan apa kamu? Udah deh sekarang tuh kita ngeliat yang pasti2 aja. Hukum tuh udah jelas pekerjaannya. Nanti kamu juga bisa jadi pengacara di kantor papa dan mama.”

Anak: “Tapi ma… Arya kan tertarik sama teorinya Heisenberg. Arya juga gk suka ngapalin UUD ma… Arya ogah masuk jurusan hukum.”

Orangtua: “Dibilangin kok susah sih! Ini kan demi kebaikan kamu juga.”

Anak: Yaudah deh ma…”

Percakapan diatas adalah percakapan yang seringkali kita saksikan terutama pada anak-anak yang bingung memilih jurusan mereka kelak di bangku kuliah. Banyak anak yang pada akhirnya tidak betah di jurusan yang mereka pilih hanya karena ikut-ikutan teman, desakan orangtua, atau pengetahuan yang salah. Nyatanya di Indonesia banyak sekali kecenderungan orang-orang yang beranggapan bahwa kuliah haruslah memiliki prospek kedepan yang cerah. Padahal tujuan kuliah bukanlah untuk mencari pekerjaan, tetapi untuk berkarya. Kasus Arya diatas merupakan satu dari sekian kasus yang sering terjadi di Indonesia. Banyak anak yang atas karena desakan seperti ini justru malah mengikuti desakan orangtuanya. Akibatnya, bukannya enjoy kuliah justru yang ada malah tekanan batin. Dan sang anak pun menjadi anak yang malas kuliah. Ada baiknya kita hapus anggapan bahwa kuliah yang bagus itu adalah kuliah di jurusan favorit.

Jurusan kedokteran atau kedokteran gigi adalah jurusan elit yang memberikan jaminan kaya. Kaya materi tentu saja, karena kalau kita pikir, salary seorang dokter itu perharinya bisa mencapai jutaan rupiah. Ditambah lagi lulusan kedokteran masih sangat dibutuhkan di Indonesia. Jurusan ini menjadi incaran sebagian besar lulusan SMA. Jurusan ekonomi dan bisnis juga demikian. Akuntansi dan ekonomi lulusannya akan diincar dimana-mana. Jurusan ini akan selalu booming karena memang jurusan yang gampang mencari kerja. Ada lagi jurusan teknik, yang pasti akan selalu dipakai di dunia industri. Teknik termasuk jurusan yang diincar banyak orang karena salarynya yang besar. Hukum pun juga demikian. Lulusan hukum hampir bisa bekerja dimana2. Akan tetapi bagaimana dengan jurusan yang tidak favorit seperti MIPA, pertanian, kehutanan, filsafat, budaya? Daripada ngambil jurusan kayak gitu lebih baik berhenti sekolah sekalian. Ngapain? Kerjanya juga gak ada… Inilah anggapan yang beredar di masyarakat. Kerja, kerja, dan kerja… Hanya itulah fungsi kuliah di sini.

Padahal kalau saja orientasi kuliah untuk bekerja ini dihapus, kita bisa katakan segala jurusan memiliki prospek yang bagus. Saya mengatakan prospek, bukan prospek kerja. Sekali lagi saya katakan, kuliah adalah untuk berkarya. Bukan bekerja. Coba saja kita tengok negara-negara maju. Jurusan Ilmu Alam (Natural Sciences) lulusannya akan dipakai di dunia penelitian sebagai ilmuwan dan hasil riset mereka dapat digunakan untuk perkembangan negara. Jurusan Filsafat juga merupakan jurusan yang bisa dibilang elit diluar negeri karena lulusannya bisa berkontribusi untuk kemajuan peradaban dunia. Jurusan Sastra? Negara lain sangat menjunjung tinggi sastra negara mereka sendiri. Tidak seperti kita yang ogah mempelajari Sastra Indonesia atau Sastra Daerah. Pada intinya sebenarnya jurusan-jurusan yang saya sebutkan diatas memang kurang begitu bisa diterima di dunia komersial atau industri, akan tetapi lebih dari itu, jurusan-jurusan diatas bisa menjadi jurusan yang melahirkan para ilmuwan-ilmuwan besar dan bisa berkontribusi di masyarakat.

Bukankah banyak kita lihat para ilmuwan seperti Albert Einstein, Madame Curie, Antoinne Lavoisier, atau bahkan Yohanes Surya lahir dari fakultas MIPA? Sering sekali anggapan masyarakat keliru soal jurusan ini. MIPA dianggap sebagai jurusan yang mendidik guru atau dosen sehingga lulusannya pun sudah dapat dipastikan bakal menjadi guru atau dosen. Memang sih, jurusan-jurusan seperti matematika dan kimia banyak diserap di dunia perkantoran dan industri, akan tetapi coba lihat jurusan fisika, geografi, atau biologi? Lulusannya susah sekali mencari kerja. Dalam hal ini sebenarnya mereka bisa berkontribusi menjadi peneliti atau mencoba eksperimen baru. Diluar negeri dapat dipastikan lulusan jurusan2 ini akan menjadi ilmuwan. Akan tetapi kembali lagi, di Indonesia sulit untuk bergerak di bidang ini. Hampir tidak ada yayasan yang mau membiayai para peneliti di Indonesia. Walhasil, mereka malah justru dicaplok negara lain. Otak mereka diserap oleh negara lain untuk kepentingan negara itu. Kalau saja kita bisa mencontoh China yang setelah mengirim anak-anaknya ke luar negeri untuk sekolah dan menjadi ilmuwan, mereka memulangkan anak-anak tersebut ke negara asalnya (China) untuk membangun negara. Hasilnya? China telah menjadi negara raksasa sekarang ini berkat para ilmuwan itu. Kenapa Indonesia tidak bisa mencontoh negara China seperti itu?

Yaah, secara keseluruhan, yang ingin saya coba sampaikan adalah kuliah di MIPA bukan berarti kuliah untuk menjadi guru (menjadi guru pun tidak masalah sebenarnya karena guru adalah pekerjaan mulia). Kuliah di MIPA adalah untuk menjadi peneliti agar lulusannya bisa berkontribusi untuk kemajuan masa depan. Guru memiliki jalurnya sendiri di jurusan Ilmu Pendidikan, sementara jalur MIPA adalah menjadi ilmuwan yang bekerja di laboratorium. Oleh karena itu, janganlah takut mengambil jurusan MIPA. JIka memang tujuan kalian adalah menjadi peneliti, maka pilihlah MIPA. Jangan malu kuliah di MIPA hanya karena tidak memberikan prospek “kerja”. Banggalah kuliah di MIPA karena di MIPA-lah para ilmuwan terbesar lahir. Karena MIPA-lah kita bisa merasakan perkembangan dunia yang dirangkai oleh para ilmuwan.

Friday, June 19, 2009

Silica Risk Husk


Rice milling generates a by product know as husk . This surrounds the paddy grain. During milling of paddy about 78 % of weight is received as rice , broken rice and bran .Rest 22 % of the weight of paddy is received as husk . This husk is used as fuel in the rice mills to generate steam for the parboiling process . This husk contains about 75 % organic volatile matter and the balance 25 % of the weight of this husk is converted into ash during the firing process , is known as rice husk ash ( RHA ). This RHA in turn contains around 85 % - 90 % amorphous silica.

So for every 1000 kgs of paddy milled , about 220 kgs ( 22 % ) of husk is produced , and when this husk is burnt in the boilers , about 55 kgs ( 25 % ) of RHA is generated.

India is a major rice producing country , and the husk generated during milling is mostly used as a fuel in the boilers for processing paddy , producing energy through direct combustion and / or by gasification . About 20 million tones of RHA is produced annually. This RHA is a great environment threat causing damage to the land and the surrounding area in which it is dumped. Lots of ways are being thought of for disposing them by making commercial use of this RHA.

The particle size of the cement is about 35 microns . There may be formation of void in the concrete mixes , if curing is not done in properly . This reduces the strength and quality of the concrete . Our product – Silpozz – which is made out of this RHA is finer than cement having very small particle size of 25 microns , so much so that it fills the interstices in between the cement in the aggregate. That is where the strength and density comes from. And that is why it can reduce the amount of cement in the concrete mix .

RHA is a good super-pozzolans . Silpozz can be used in a big way to make special concrete mixes . There is a growing demand for fine amorphous silica in the production of special cement and concrete mixes ,high performance concrete ,high strength, low permeability concrete, for use in bridges, marine environments , nuclear power plants etc. This market is currently filled by silica fume or micro silica , being imported from Norway, China and also from Burma . Due to limited supply of silica fumes in India and the demand being high the price of silica fume has risen to as much as US$ 500 / ton in Indonesia.

Thursday, June 18, 2009

Wood converted to scaffolds for bone tissue engineering


Inspired by nature's highly organized hierarchial structures, researchers have used wood to make porous hydroxyapatite scaffolds with structures similar to that of real bone. The scaffolds 'pave the way for realising prosthetic devices which could get closer to the extraordinary performance of human tissues'. They heated the wood to decompose the organic parts that make up most of its weight, leaving behind the carbon template. They reacted the template first with calcium, then oxygen and then carbon dioxide to form calcium carbonate. Finally, they converted it to hydroxyapatite using a phosphate donor. The material keeps its original microstructure, exploiting the unique architectural properties of the wood's cellular make-up. This means cells and blood vessels can grow through the structure and incorporate it into the original bone.
[From wood to bone: multi-step process to convert wood hierarchical structures into biomimetic hydroxyapatite scaffolds for bone tissue engineering, J. Mater. Chem., 2009, DOI: 10.1039/b900333a]

Material Pintar, Kalau Dipukul Mengeras


Jenis biopolimer "pintar" ini memiliki sifat seperti permukaan tubuh ketimun laut. Pada kondisi normal lunak, namun kontan mengeras saat diberi tekanan, misalnya saat dipukul.

Material yang dikembangkan para peneliti di Case Western University, AS itu memang menjiplak kulit teripang atau ketimun laut. Mereka terinspirasi fakta bahwa ketimun laut memiliki kemampuan tersebut karena kulitnya mengandung serat selulosa yang sangat baik.

Saat diberi tekanan dari luar, sel-sel di sekitarnya akan membentuk molekul yang akan mengikat serat tersebut dengan sangat kuat. Alhasil, kulitnya menjadi kaku dan lebih sulit ditembus. Dalam kondisi normal, sel-sel tersebut membentuk protein yang bersifat fleksibel sehingga tubuh ketimun laut dapat melalui celah-celah batuan karang.

Untuk meniru kemampuan tersebut, para peneliti mengisolasi jaringan serat selulosa di kulit tubuh ketimun laut. Serat tersebut kemudian dikombinasikan campuran polimer yang kenyal.

Bentuk polimer baru menjadi seperti jaring tiga dimensi dengan serat-serat nano yang membentuk lapisan-lapisan saling tindih. Saat lapisan-lapisan tersebut ditarik, polimer akan menegang.

Para peneliti berharap material seperti itu dapat dipakai untuk berbagai keperluan. Selain untuk lapisan pengaman luar tubuh, suatu saat mungkin dapat dipakai sebagai pengganti logam pada elektroda-elektroda alat elektronika yang dipasang di dalam tubuh pasien.

Monday, June 8, 2009

Karbon nanotube dengan doping nitrogen untuk sel bahan bakar yang murah


Tabung karbon berukuran nano (nanotubes) yang didoping dengan nitrogen memiliki potensi untuk menggantikan katalis platina yang mahal yang biasa digunakan untuk mereduksi oksigen didalam sel bahan bakar, menurut para peneliti di Ohio (Science 2009, 323, 760). Penemuan ini dapat menurunkan harga dari sel bahan bakar, yang merupakan teknologi menjanjikan namun memiliki masalah dalam pengaplikasiannya dalam skala besar seperti pada kendaraan bermotor karena harga katalis yang mahal disamping segi ketahanannya.

Sebuah tim dipimpin oleh Liming Dai dari the University of Dayton menemukan bahwa sekumpulan karbon nanotube yg tersusun vertikal, yang sebagian atom karbon digantikan dengan nitrogen dapat mereduksi oksigen dalam larutan alkali lebih baik dibandingkan katalis platina yang telah lama dipakai dalam teknologi sel bahan bakar sejak 1960an. Lebih dari itu, nanotube tidak terpengaruh oleh racun katalis berupa karbon monoksida yang terbukti mendeaktivasi katalis platina.

Dai menjelaskan penyebab utama dari aktifitas tinggi oleh nanotube berdoping nitrogen karena kemampuan menerima elektron dari atom nitrogen yang akan menghasilkan muatan positif pada atom karbon disebelahnya. Muatan ini menarik elektron dari anoda dan mendorong reaksi reduksi oksigen. “Pengungkapan peran baru dari nitrogen doping pada penelitian ini sangat penting dan dapat diaplikasikan untuk mengembangkan berbagai katalis pereduksi oksigen berbahan non logam yang efisien diluar aplikasinya dalam fuel cells” Dai berkata.

“Penemuan ini dapat memiliki efek yang mendasar terhadap upaya komersialisasi teknologi sel bahan bakar kata Yushan Yan, seorang professor teknik kimia dari the University of California, Riverside. Dia menambahkan bahwa hasil ini dapat lebih berdampak nyata jika tim Dai dapat menunjukkan hasil percobaan dalam media asam, dimana platina lebih diperlukan dalam suasana tersebut, dibandingkan dengan media basa, dimana tidak ada logam lain yang lebih efektif daripada platina pada suasana asam. Namun mengetahui bahwa platina bisa digantikan dengan katalis nonlogam baru ini sudah merupakan kemajuan yang luar biasa.

Thursday, June 4, 2009

Indonesia Potensial Jadi Pemasok Material Nano


Indonesia sangat potensial dan perlu mengambil peluang menjadi pemasok material nano di pasar global berkaitan dengan dimulainya era revolusi nanoteknologi.

"Sekarang ini dunia sedang mengarah pada revolusi nanoteknologi di mana dalam periode 2010 sampai 2020 akan tejadi percepatan luar biasa dalam penerapan nanoteknologi di dunia industri," kata Pakar Nanoteknologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Nurul Taufiqu Rochman M Eng di sela Konferensi Perhimpunan Ahli Teknik Indonesia (PATI) di Jakarta, Selasa.

Nurul menyebutkan ada tiga isu penting dalam pengembangan nanomaterial yakni bagaimana membuat partikel berukuran nano sebagai bahan baku produk nano, bagaimana mengkarakterisasi partikel nano yang telah dibuat dan bagaimana menyusun partikel nano menjadi produk akhir yang diinginkan.

Dalam Seminar "Nano Teknologi Penentu Daya Saing Bangsa" itu ia mengatakan, nanoteknologi berkaitan dengan bagaimana mengatur material, sruktur dan fungsi zat pada skala nano (satu nano meter (nm) sama dengan satu meter dibagi satu milyar -red) sehingga menghasilkan fungsi materi baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Sedangkan nanomaterial merupakan landasan utama dalam rantai pengembangan produk nano yang kebutuhannya di pasar global meningkat drastis, kata Ketua Masyarakat Nanoteknologi Indonesia itu.

Dalam pembuatan material nano ada dua proses pendekatan yang perlu dilakukan Indonesia yaitu top-down di mana material misalnya pasir besi dihaluskan sedemikian rupa sampai menjadi seukuran nano meter (sebagai perbandingan, besar atom sama dengan 1 nm -red).

Partikel baru yang sangat halus itu akan mempunyai sifat-sifat dan performan yang jauh lebih baik dan berbeda dengan material aslinya, misalnya teknik pembuatan peralatan elektronik dari semikonduktor silikon yang dibentuk sesuai pola tertentu.

"Dengan pendekatan ini misalnya dapat dibuat IC berukuran 1 cm2 berisikan bermilyar-milyar transistor untuk komponen hardisk berkapasitas penyimpanan terabyte, atau nano baja berstruktur sangat halus mencapai puluhan nm dengan kekuatan dan umur dua kali lipat," kata Nurul.

Berhubung Indonesia sangat kaya dengan berbagai material, teknologi penghalusan materi menjadi seukuran nano ini harus dikuasai, ia mencontohkan pasir besi yang harganya hanya Rp250 per kg akan melonjak menjadi Rp1 juta per kg jika dijual dalam ukuran nano.

"Harganya jadi 4.000 kali lipat. Itulah mengapa teknologi dan industri pembuatan material nano ini harus dikuasai karena memiliki nilai tambah sangat besar. Indonesia harus menjadi salah satu pemasok terbesar material nano di pasar global," katanya.

Teknologi ini, ujarnya, saat ini sedang dikembangkan di LIPI, dengan menggunakan sumber-sumber mineral pasir besi yang diseparasi menjadi silika dan alumina yang ketika di-nano-kan dapat diaplikasikan menjadi beton berkekuatan tinggi, menjadi bahan sensor, membran dan lain-lain, sementara yang telah dipurifikasi menghasilkan oksida besi untuk toner printer.

Pendekatan kedua yang juga harus dikuasai adalah bottom-up yakni dengan menyusun atom demi atom atau molekul menjadi bahan yang memenuhi suatu fungsi tertentu yang diinginkan seperti misalnya menyusun atom grafit menjadi intan, ujarnya.(*)

Friday, May 1, 2009

Teknik material


Ilmu material atau teknik material atau ilmu bahan adalah sebuah interdisiplin ilmu teknik yang mempelajari sifat bahan dan aplikasinya terhadap berbagai bidang ilmu dan teknik. Ilmu ini mempelajari hubungan antara struktur bahan dan sifatnya. Termasuk ke dalam ilmu ini adalah unsur fisika terapan, teknik kimia, mesin, sipil dan listrik. Ilmu material juga mempelajari teknik proses atau fabrikasi (pengecoran, pengerolan, pengelasan, dan lain-lain), teknik analisa, kalorimetri, mikroskopi optik dan elektron, dan lain-lain), serta analisa biaya atau keuntungan dalam produksi material untuk industri.

Perkembangan terakhir, ilmu tentang bahan ini mendapat sumbangan yang besar dari majunya bidang nanoteknologi dan mulai diajarkan secara luas di banyak universitas termasuk di jurusan fisika FMIPA UNILA.

Template by : kendhin helth-easy x-template.blogspot.com